Selasa, 03 Januari 2012

Makalah Hukum Perwakafan


Tata Cara Perwakafan di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Wakaf sebagai suatu institusi keagamaan, disamping berfungsi ‘ubudiyah juga berfungsi sosial. Wakaf Adalah salah satu usaha mewujudkan dan memelihara hablun min allah dan hablun min an-nas. Dalam fungsinya sebagai ibadat, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan si wakif (orang yang berwakaf) di hari kemudian. Mewakafkan Adalah suatu betuk amal yang pahalanya akan terus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Dalam sebuah hadis dijelaskan, ada tiga hal yang akan terus mengalir manfaatnya dari amal seseorang sampai sesudah ia wafat, yaitu : shadaqah jariyah, ilmu yang diajarkan yang terus diamalkan orang, dan anak shaleh yang mendoakannya (H.R, Muslim).
Dari duduk perkaranya dalam suatu prakteknya dikalangan  umat islam, wakaf mempunyai banyak permasalahan. Permasalahan-permasalahan itu bukan saja muncul dalam masyarakat islam di Indonesia, tetapi juga di negeri-negeri lain, dalam berbagai periode sejarah umat islam. Di antara permasalahan yang dihadapi Adalah tidak jelasnya status tanah wakaf yang diwakafkan sebelum adanya ketentuan persertifikatan atau pendaftaran tanah wakaf secara resmi. Dalam kondisi demikian, bisa jadi seseorang atau ahli waris tidak mengakui adanya ikrar wakaf dari wakif.

B.     Rumusan Masalah

1. Bagaimana kajian hukum positif tentang tata cara perwakafan dan perbandingan hukum islam?
2. Bagaimana tata cara perwakafan di Indonesia?

C.     Tujuan
  1. Untuk Mengetahui Kajian Hukum positif tentang tata cara dan perbandingan hukum islam.
  2. Untuk Menegtahui tata cara perwakafan di Indonesaia. 

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Kajian Hukum Positif Tentang Tata Cara Perwakafan dan Perbandingan Hukum Islam
Wakaf itu sah dan terjadi bila rukun wakaf telah terpenuhi. Pengikut Hanafi memandang rukun wakaf hanyalah sebatas shighat (lafal) yang menunjukkan makna/substansi wakaf. Karena itu, ibn Najm pernah mengatakan rukun wakaf adalah lafal-lafal yang menunjukkan terjadinya wakaf. Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan hanabilah memandang rukun wakaf terdiri dari: waqif, mauquf ‘alaih, harta yang diwakafkan dan lafal atau ungkapan yang menunjukkan proses terjadinya wakaf.[1] Sebagaimana dijelaskan sebelumya, lafal atu ungkapan menjadi proses keabsahannya wakaf. Menurut pendapat para imam madzhab, wakaf dianggap terlaksana dengan adanya lafadz atau shighat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim.[2]
Lafal yang menunjukkan sahnya wakaf adalah lafal-lafal yang menunjukkan makna penahanan benda serta makna manfaat dari benda tersebut. Lafal ini terbagi menjadi dua macam: lafal sharih (jelas) dan lafal kinayah (samar).
a.       Lafal jelas
Lafal wakaf bisa dikatakan jelas apabila lafal itu populer dan sering digunakan dalam transaksi wakaf. Ada tiga jenis lafal yang termasuk dalam kelompok ini, yaitu: 1. al-waqf (wakaf); 2. al-habs (menahan); dan 3 al-tasbil (berderma). Selain ketiga bentuk ini, para fuqaha berselisih pendapat. Ibn Qudamah berkata lafal-lafal wakaf yang sharih (jelas) itu ada tiga  macam, yaitu: waqaftu (saya mewakafkan), habistu (saya menahan), dan sabbaitu (saya mendermakan). Semua itu merupakan lafal jelas, dan yang demikian ini yang paling benar, sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas fuqaha.[3]
Dalam kitab Al-Manhaj, Imam Nawawi berkata,  “Lafal wakaf yang jelas adalah semisal, “Saya mewakafkan ini, atau tanahku diwakafkan.” Di samping itu, kata-kata berderma atau menahan harta merupakan lafal yang jelas menurut pendapat yang sahih.

b.      Lafal Kinayah (samar)
Lafal kinayah (samar) merupakan lafal yang menunjukkan beberapa kemungkinan makna, bisa berarti wakaf dan bisa juga bermakna lain. Lafal sedekah atau nazar merupakan lafal kinayah (samar) jika tidak disertai dengan qarinah (indikasi) yang mengisyaratkan makna wakaf.  Lafal ini memiliki banyak contoh, seperti bersedekah, memberikan harta kepada orang fakir atau  di jalan Allah, dan lafal-lafal lainnya yang samar dan mengandung banyak makna. Karenanya, jika seseorang mengatakan “Aku menyedekahkan tanahku ini tidak untuk dijual atau dihibahkan.” Kejelasan yang digambarkan imam Nawawi pada contoh tersebut, bukan merupakan kejelasan secara langsung. Lafal itu menjadi jelas karena adanya indikasi yang mengarah pada makna wakaf secara jelas. Dari uraian ini, di kalangan pengikut Syafi’I menyebutkan bahwa cara pelafalan wakaf, ada dua macam: jelas dengan sendirinya dan jelas dengan suatu indikasi.[4]
Meski menggunakan lafal kinayah (samar) ia dapat menunjukkan keabsahannya apabila diucapakan dengan niat berwakaf. Ibn Qudamah mengatakan bahwa lafal kinayah semisal “saya bersedekah” tidak termasuk lafal sharih. Sebab lafal sedekah memiliki banyak makna. Oleh karena itu, lafal sedekah tidak bisa dipahami sebagai wakaf, kecuali bila mencakup salah satu dari tiga hal berikut:
1.      Disertai dengan lafal lain yang menunjukkan kejelasan makna wakaf, seperti sedekah yang diwakafkan.
2.      Disertai dengan salah satu/beberapa karakter/sifat wakaf. Misalnya sedekah yang tidak untuk dijual.
3.      Ada niat berwakaf dari si pelakunya.
Berpijak dari alasan inilah, para pengikut Malikiyah, hamya menganggap bahwa yang termasuk dalam lafal sharih hanya dua, yaitu lafal “Saya wakafkan” dan “Saya tahan”, selain dua lafal itu wakaf menjadi tidak sah, kecuali disertai dengan indikasi
.
Tetapnya Wakaf, yaitu apabila seseorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka, dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan dari yang diwakafi.[5]
Dalam islam juga dikenal adanya wakaf tunai, Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian dikalangan fuqaha. Terdapat perbedaan pendapat mengenai wakaf tunai. Imam Bukhari mengungkapkan bahwa Az-Zuhri berpendapat bahwa dinar dan dirham (kedua mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. [6]
Sedangkan dalam hukum positif berbeda mengenai sahnya wakaf. Dalam hal ini, yang dijadikan dasar diambil dari pernyataan Syaikh Wahbah al-Zuhailî di dalam kitab al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh. Beliau berkata:
المقرر شرعا أن الشهادة إحدى طرق إثبات الوقفية، ويشترط في ادعاء الوقف: بيان الوقف ولو كان قديما، ويقبل في إثباته الشهادة على الشهادة، وشهادة النساء مع الرجال، والشهادة بالشهرة والتسامع بأن يقول الشاهد: أشهد بالتسامع وتقبل شهادة التسامع لبيان المصرف، كقولهم على مسجد كذا، ولبيان مستحقين، ولا تقبل لإثبات شرائطه في الأصح. أما صك الكتابة فلا يصلح حجة؛ لأن الخط يشبه الخط. واشتراط تحديد العقار الموقوف لا يطلب لصحة الوقف لأن الشرط كونه معلوما وإنما هو شرط لقبول الشهادة الوقفية .
Terjemahan: Ketetapan secara syariat, persaksian adalah salah satu dari cara-cara menetapkan wakaf. Disyaratkan di dalam pengakuan wakaf; adalah menjelaskan wakaf walaupun telah lewat. Wakaf diterima ketetapannya dengan cara persaksian terhadap persaksian; dan persaksian perempuan berserta lelaki, persaksian dengan cara kemasyhuran dan perbicaraan orang banyak dengan perkataan orang yang bersaksi: “Aku bersaksi dengan perbicaraan orang banyak”. Persaksian dengan perbicaraan orang banyak itu diterima untuk menjelaskan tempat tasarrufnya; seperti ucapan mereka terhadap masjid yang ini. Dan juga diterima untuk menjelaskan orang-orang yang berhak. Persaksian tidak diterima untuk menetapkan syarat-syarat wakaf menurut pendapat yang lebih sah. Adapun akte tulisan (akte notaris) itu tidak patut menjadi hujjah, karena tulisan itu menyamai tulisan.
Ketetapan ini sesuai dengan hukum positif yang mana mensyaratkan adanya pendaftaran resmi dalam hal sertifikat tanah bagi segala tasarruf yang dilakukan terhadap tanah, di manapun ia berada, dan kapanpun tasarruf itu terjadi. Melihat kenyataan ini, shîghat wakaf terjadi khilâf di kalangan ulama. Oleh karena ini, sesuai kaidah “حكم الحاكم يرفع الخلاف”; maka pemerintah dapat menetapkan ketentuan ikrar melalui Menteri Agama. Perlu juga diketahui, pada dasarnya pemerintah tidak sepenuhnya menafikan sebuah wakaf yang sudah memenuhi syarat. Oleh karena itu, redaksi di dalam hukum positif adalah ikrar wakaf, bukan shîghat wakaf. Ini dikarenakan tidak menutup kemungkinan sudah terjadi wakaf di luar prosedur yang secara syariat sudah sah, akan tetapi ditetapkan wakaf tersebut secara resmi melalui proses ikrar ini. Hujjah ini hampir senada dengan pernyataan Wahbah al-Zuhailî seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketentuan lain dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (3) tertulis sebagai berikut:
Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Ketentuan yang ditetapkan oleh KHI bagi pasal ini adalah agar ikrar perwakafan ini dikuatkan dengan pembuktian yang berupa persaksian (الشهادة). Secara fiqh, persaksian ini dapat menguatkan sebuah hukum. Dalam ketentuan mazhab Syafi’i, persaksian untuk hal-hal yang berkaitan dengan harta itu memerlukan minimal satu orang saksi dengan disumpah. Ia juga bisa dengan satu lelaki dan dua orang perempuan.
Faedah diwajibkannya persaksian ini oleh KHI adalah agar menolak kemungkinan terjadi claim dari orang lain akan harta wakafan tersebut. Juga dapat menghilangkan keraguan atau pertentangan seumpama ada yang meragukan terjadi pemalsuan akte perwakafan. Hal ini bisa termasuk di dalam koridor ­al-mashlahah al-mursalah yang disepakati oleh beberapa ulama seperti Mâlikiyyah dan Imam al-Ghazâlî.
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (4) tertulis sebagai berikut:
Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a.  tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.[7]
Tujuan dari penyerahan tanda bukti pemilikan harta adalah karena KHI mengadopsi pendapat mazhab Syafi’I yang berpegangan bahwa wakaf menyebabkan si pewakaf akan kehilangan haknya terhadap harta wakaf tersebut. Jadi secara logikanya, tanda kepemilikan harta (seperti sertifikat tanah) tersebut harus juga diserahkan kepada Pejabat yang berwenang.
Sedangkan untuk angka (b) dan (c) adalah bagian dari antisipasi seperti yang telah diterangkan oleh penulis. Secara metodologi Islam adalah bagian dari penerapan ­al-mashlahah al-mursalah yang juga sesuai dengan ruh-ruh syariat Islam

2.      Tata Cara Perwakafan Di Indonesia
Tuntunan Perwakafan
Wakaf Adalah menahan suatu benda yang kekal zatnya mungkin diambil manfaatnya guna diberiakn dijalan kebaikan. Sabda Rasulullah SAW :

أَنّ عُمَرَأَرْضًا بِخَيْبَرَ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللّهِ , مَاتأَ مُرُنِى فِيْهَا فَقَالَ : إِنْ شِتَ حَبَسْتَ أَصْلُهَا وَتَصَدَّ قْتَ بِهَا فَتَصَدَّ قَ بِهَاعُمَرُعَلَى أَنْ لآيُبَاعَ أَصْلُهَا ولايُوْهَبَ ولاَ يُوْرَثَز (رواه البخارى ومسلم)
            “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW : Apakah perintahmu kepadaku berhubung dengan tanah yang saya belum dapat ini ? jawab beliau : umar menyedekahkan manfaatnya dengan perjanjian tanahnya tidak akan dijual, tidak pula diberikan dan tidak pula dipusakkan.” ( HR Bukhari dan Muslim).
Berwakaf  bukanlah seperti sedkah biasa, tetapi lebih luas dari itu. Hasil wakaf digunakan  untuk hal-hal yang berguna bagi masyarakat, seperti  membangun gedung sekolah, madrasah, pesantren, masjid, rumah sakit sesuai dengan ikrar yang mewakafkan (wakif).[8]
Menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.; secara penerapan, maka tata cara perwakafan adalah sebagai berikut:
1. Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya (sebagai calon wakif) datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf. Bila calon wakif tidak dapat datang ke hadapan PPAIW karena suatu sebab, seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten letak tanah yang bersangkutan di hadapan dua orang saksi. Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir di hadapan PPAIW.
2. Pada waktu menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa surat-surat sebagai  berikut:
a.Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya seperti surat IPEDA (girik, petok, ketitir dan sebagainya).
b.Surat Keterangan Kepada Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak termasuk sengketa.
c.Surat keterangan pendaftaran tanah.
d.Izin dari Bupati/Kotamadya Kepada Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat.
3. PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir.
4. Menurut Dr. Abdul Ghofur, wakif mengikrarkan kehendak wakif itu kepada nazir yang telah disahkan. Ikrar tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Bagi wakif yang tidak dapat mengucapkan ikrarnya, karena bisu misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar wakaf. Kemudian semua yang hadir menandatangani blanko ikrar wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan di dalam peraturan Direktoral Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78.
5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai dan Salinan Akta Ikrar wakaf rangkap empat. Akta Ikrar Wakaf tersebut paling sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan identitas nadzhir, data dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat akta, PPAIW membukukan semua itu dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf dan menyimpannya dengan baik bersama aktanya.[9]

3.      Kajian Hukum Positif Tentang Pendaftaran Harta Wakaf
  1. Tata Cara Pendaftaran Dan Pengumuman Harta Benda Wakaf

-    Harta benda Wakaf Tidak bergerak
Pasal 38
1.      pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan AIW atau APAIW
2.      Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada yat (1) dilampirkan persyaratan sebagai berikut:
    1. serifikat hak atas tanah atau sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
    2. surat pernyataan dari bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sitaan dan tidak dijaminkan yang diketahui oleh kepala desa atau lurah atau sebutan lain yang setingkat yang diperkuat oleh camat setempat.
    3. Izin dari pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peratuiran perundang-undangan dalam hal tanahnya diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan pemerintahan desa atau sebutan lain setingkat dengan itu;
    4. Izin dari pejabat bidang pertanahan apabila dalam sertifikat dan keputusan pemberian haknya diperlukan izin pelepasan/ peralihan
    5. Izin dari pemegang pengelola atau hak milik dalam hal hak guna  bangunan atau hak pakai yang diwakafkan di atas tanah hak pengelola atau hak milik.
Pasal 39
1.      Pendaftaran sertifikat tanah atas wakaf dilakukan berdasarkan AIW atau APAIW dengan tata cara sebagai berikut:
a.       terhadap tanah yang sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah wakaf tas nama nazhir;
b.      terhadap tanh milik yang di wkafkan hanya sebagian dari luas keseluruhan harus dilakukan pemecahan sertifikat hak milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama nazhir;
c.       terhadap tanha yang belum berstatus hak milik yang berasal dari tanah milik adapt langsung didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama nazhir;
d.      terhadap hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf b yang telah mendapatkan persetujuan pelepasan hak dari pejabat yang berwenang di bidang pertanahan didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama nazhir;
e.       terhadap tanah negara yang diatasnya berdiri bangunan masjid, mushala, makam didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama nazhir;
f.        pejabat yang berwenang di bidang pertanahan kabupaten/kota setempat mencatat perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
2.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran wakaf tanah diatur dengan peraturan menteri setelah mendapat saran dan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang pertanahan.


-         Wakaf Benda Bergerak Selain Uang
Pasal 40
PPAIW mendaftarkan AIW dari :
a.       beda bergerak selain uang yang didaftarkan pada instansi yang berwenang
b.      benda bergerak selain uang yang tidak terdaftarkn dan yang memiliki atau tidak memiliki tanda bukti pembelian atau bukti pembayaran didaftar pada BWI, dan selama di daerah tertentu belum dibentuk BWI, maka pendaftaran tersebut dilakukan di kantor departemen Agama setempat.
Pasal 41
1.      Untuk benda bergerak yang sudah terdaftar, wakif menyerahkan tanda bukti kepemilikan benda bergerak kepada PPAIW dengan disertai surat keterangan pendaftaran dari instansi yang berwenang yang tugas pokoknya terkait dengan pendaftaran benda bergerak tersebut.
2.      Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar, wakif menyerahkan tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran berupa faktur, kwitansi atau bukti lainnya.
3.      Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar dan tidak memiliki tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran, wakif membuat surat pernyataan kepemilikan atas benda bergerak tersebut yang diketahui oleh 2 orang saksi dan dikuatkan oleh instansi pemerintahan setempat.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perwakfan benda bergerak selain uang sebagaimana  dimaksud dalam pasal 19, pasal 20 dan pasal 21 diatur dengan peraturan menteri berdasarkan usul BWI


-         Harta benda Wakaf bergerak Berupa Uang

      Pasal 43
1.       LKS-PWU atas nama nazhir mendaftarkan wakaf uang kepada menteri paling lambat 7 hari kerja sejak diterbitkan sertifikat wakaf uang.
2.       Pendaftaran wakaf uang dari LKS-PWU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada BWI untuk diadministrasikan.
3.       Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi pendaftaran wakaf uang diatur dengan peraturan menteri.
-         Pengumuman Harta Benda Wakaf
1.      PPAIW menyampaikan AIW kepada kantor Departemen Agama dan BWI untuk dimuat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor Departemen Agama dan BWI.
2.      Masyarakat dapat mengetahui atau mengakses informasi tentang wakaf benda bergerak selain uang yang termuat dalam register umum yang tersedia pada kantor Departemen Agama dan BWI[10]


Analisis
            Wakaf itu sah dan terjadi bila rukun wakaf terpenuhi, dalam pengikut hanafi memandang rukun wakaf hanyalah dengan sebatas sighat yang menunjuk batas substansi wakaf.  Menurut malikiyah, syafi’iah, zaidiyah  dan hanabilah memandang rukun dari waqif, mauquf ‘alaih dan dengan lafal atau ungkapan yang menunjukan proses terjadinya wakaf. Dari pendapat para imam madzhab ini, bahwasanya wakaf terlaksana apabila adanya sighat atau lafal.
            Dalam ketetapan yang sesuai dengan hukum positif yang mana yang dimana mensyaratkan adanya pendaftaran resmi dalam hal sertifikat. Tata cara pendaftaran menurut hokum positif terdapat tiga macam hal dalam pembagiannya yaitu: Harta benda wakaf tidak bergerak, harta benda wakaf bergerak selain uang, harta benda wakaf bergerak berupa uang. Dalam hal ini terjadinya pelaksanaan ikrar wakaf dianggap sah apabila terdapat sekurang-kurangnya dua saksi. Sedangkan dalam KHI yang dmana pelaksanaan ikrar wakaf ini dikuatkan dengan adanya pembuktian yang berupa persaksian yang dimana tertuang dalam KHI pasal 223 angka (4).


BAB III
KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Kajian hukum positif menghasilkan kesimpulan bahwa pada dasarnya selagi syarat dan rukun wakaf itu telah terpenuhi, maka secara hukum islam wakaf itu sudah berlaku. Akan tetapi, dikarenakan melihat kenyataan zaman yang jelas sudah berubah, maka beberapa konsep pengesahan wakaf tersebut diatur beda dalam hukum positif demi menjaga maslahat yang lebih sesuai dengan ruh-ruh syariah Islam.
2.  Dalam tata cara untuk melakukan wakaf memiliki lima (5) tahap yang harus dilakukan. 1) Waqif datang ke PPAIW untuk ikrar wakaf; 2) Ketika si waqif datang tersebut ia harus sudah melengkapi dokumen-dokumennya; 3) PPAIW harus meneliti semua dokumen dan juga saksi-saksi; 4) Waqif harus melakukan ikrar di depan 2 saksi dengan ikrar yang jelas; 5) PPAIW mengeluarkan Akta Ikrar Wakaf resmi.
  

DAFTAR PUSTAKA

-         Abid Abdullah al-Kabisi, Muhammmad. 2004. Hukum Wakaf. Bogor: IIMaN
-         Al-Alabij, Adiyani. 1989. Perwakafan Tanah Di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali
-         Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia. Yogyakarta. Pilar Media
-         Direktorat pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarkat Islam. 2007. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: Direktorat pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarkat Islam
-         Saabiq ,Sayyid, 1988. Fiqih Sunnah 14, Bandung, Al-Maarif
-         Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2008. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia
-         Depag, 1993, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta, Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf






1 komentar: