HAK
KEPEMILIKAN INDIVIDU DALAM EKONOMI ISLAM
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Sistem Ekonomi Islam"
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia
selalu membutuhkan orang lain, merefleksikan diri saling tolong menolong dalam
berbagai hal termasuk dalam menghadapi berbagai macam problema yang ada dalam
masyarakat bahkan secara ekonomi untuk menutupi kebutuhan antara yang satu
dengan yang lain melalui pola bisnis. Sifat ketergantungan seseorang kepada
yang lain dirasakan sejak manusia itu dilahirkan. Setelah dewasa, manusia tidak ada yang serba bisa, karena
manusia bersifat lemah (dho’if) seseorang hanya ahli dalam bidang
tertentu saja, di segi yang lain ada kekurangannya.
Setiap manusia mempunyai kebutuhan secara
ekonomi, soaial, politik dan lainnya, sehingga sering terjadi
pertentangan-pertentangan kehendak atau sering terjadi konflik dalam kehidupan
bermasyarakat. Untuk menjaga keperluan masing-masing, perlu ada aturan-aturan
yang mengatur kebutuhan manusia agar manusia itu tidak melanggar hak-hak orang
lain.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Kepemilikan
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar
kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab
"milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau
harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara
hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang
memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut
sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang
lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat
menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.
Salah satu karakter yang dimiliki oleh setiap individu dalam kaitannya
dengan kepentingan untuk dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya yaitu
adanya naluri (ghorizah) untuk untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqa’)
disamping naluri mempertahankan diri (ghorizatun nau’) dan naluri beragama
(ghorizatut tadayyun). Ekspresi dari adanya naluri untuk mempertahankan diri
tersebut adalah adanya kecenderungan dari seseorang untuk mencintai harta
kekayaan. Keinginan untuk memiliki harta mendorong adanya berbagai aktivitas
ekonomi dalam masyarakat. Berbagai aktivitas ekonomi muncul agar supaya dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang seiring dengan semakin maju
kehidupan masyarakat. Keinginan untuk dapat memiliki harta yang banyak
mendorong seseorang mau bekerja keras pagi sampai malam pada berbagai bidang
ekonomi. Fenomena ini juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali
Imron : 14).
Jadi Islam dapat memahami adanya suatu fenomena tentang keinginan manusia untuk memiliki harta karena hal itu adalah suatu sunnatullah. Hanya persoalannya adanya bagaimana seseorang dalam upaya untuk dapat memperoleh harta dan kemudian memanfaatkannya senantiasa selaras dengan aturan-aturan yang telah digariskan dalam Islam. Permasalahan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan suatu upaya mencapai suatu kondisi kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Keadilan dan kesejahteraan baik dalam konteks kehidupan manusia sebagai suatu individu maupun sosial, karena Islam melihat persoalan hukum dalam masalah ekonomi tidak memisahkan antara yang wajib diterapkan pada suatu komunitas dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia dalam pengertian yang sebenar-benarnya baik dalam arti materi maupun non-materi, baik dunia maupun akhirat, baik individu maupun masyarakat.
Islam telah mengatur bagaimana mengelola sumberdaya ekonomi agar tercapai suatu kondisi yang diidealkan di atas. Dalam kaitannya dengan pengaturan kekayaan Islam menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek pengelolaan dan pemanfaatannya yaitu :
1. Pemanfaatan kekayaan, artinya bahwa kekayaan di bumi merupakan anugerah dari Allah SWT bagi kemakmuran dan kemaslahatan hidup manusia. Sehingga kekayaan yang dimiliki baik dalam lingkup pribadi, masyarakat dan negara harus benar-benar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Islam sangat menentang sikap hidup masyarakat dan kebijakan negara yang membiarkan dan menterlantarkan sumber ekonomi dan kekayaan alam.
2. Pembayaran Zakat, bahwa zakat merupakan satu bentuk instrumen ekonomi yang berlandaskan syariat yang berfungsi untuk menyeimbangkan kekuatan ekonomi di antara masyarakat agar tidak terjadi goncangan kehidupan masyarakat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan mekanisme ekonomi dalam pengaturan aset-aset ekonomi masyarakat. Zakat merupakan suatu bentuk ketaatan seorang muslim terhadap aturan Islam yang berdampak sosial.
3. Penggunaan harta benda secara berfaedah, sumber-sumber ekonomi yang dianugerahkan Allah SWT bagi manusia adalah merupakan wujud dari sifat kasih dan sayang-Nya. Sehingga pemanfaatan sumber-sumber ekonomi harus benar-benar digunakan bagi kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam sangat mencela setiap tindakan yang dapat menganggu keseimbangan lingkungan dan mengancam kelestarian hidup manusia.
4. Penggunaan harta benda tanpa merugikan orang lain, bahwa penggunaan aset ekonomi senantiasa diorientasikan bagi kepentingan hidup manusia secara
keseluruhan. Dalam perspektif ekonomi
pemanfaatan sumber ekonomi disamping efisien juga harus mencapai Pareto
optimality artinya bahwa sumber daya ekonomi benar-benar dapat digunakan bagi
kemaslahatan hidup masyarakat.
5. Memiliki harta benda secara sah, bahwa hak seseorang dalam penggunaan harta harus benar-benar memperhatikan kaidah syariat. Tidak dibenarkan seseorang menggunakan harta yang bukan miliknya. Aturan syariat dalam penggunaan harta menjamin ketertiban hidup di tengah masyarakat.
6. Penggunaan berimbang, pemanfaatan kekayaan menyangkut pemenuhan hidup manusia. Kebutuhan manusia menyangkut aspek jasmani dan rohani, dimensi duniawi dan ukhrohi, aspek pribadi dan sosial. Penggunaan kekayaan harus senantiasi memperhatikan keseimbangan aspek-aspek tersebut agar dapat mencapai tingkat kemanfaatan yang optimal. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga aturan syariat pasti menjamin keseimbangan dalam kehidupan manusia.
7. Pemanfaatan sesuai dengan hak, bahwa pemanfaatan kekayaan harus disesuaikan dengan prioritas dan kebutuhan yang tepat. Pilihan prioritas harus diterapkan secara baik agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kesalahan dalam menetapkan prioritas akan menyebabkan kesalahan dalam merumuskan kebijakan sehingga akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.
8. Kepentingan kehidupan, bahwa pemanfaatan kekayaan harus selalu dikaitkan dengan kepentingan kelangsungan hidup manusia. Islam telah membuat satu aturan yang rapi dan teratur menyangkut pemanfaatan dan penggunaan kekayaan termasuk dalam hal pengaturan harta waris.
Syaik Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa sistem ekonomi diatur dalam suatu aturan yang dibangun atas tiga asas yaitu :
1. Konsep Kepemilikan (al-Milkiyah)
2.
Pemanfaatan kepemilikan (Tasharuf fi al-Milkiyah)
3.
Distribusi kekayaan di antara manusia (Tauzi’u al-Tsarwah bayna an-Naas)
Batasan
teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan
suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka
terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang
memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang
(harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai
dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti
gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham
memanfaatkan barang.
Dimensi lain
dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak
berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si
empunya telah memberikan ijin, surat
kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si
empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau
orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan
barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang
timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini
dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan
wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
Jenis-jenis
kepemilikan
Sebelumnya
perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki
karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan
dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut.
Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki
manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real)
sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah
Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang
sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah
yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan"
kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep
Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi
amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan
pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk
memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan
dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil.
Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang
bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang
yang membutuhkan.
HAK KEPEMILIKAN INDIVIDU DALAM ISLAM
Dalam pembahasan mengenai hak milik individu dalam ekonomi islam ada dua
hal yang diuraikan yaitu terkait
dorongan manusia untuk memiliki harta dan keterikatan harta individu itu sendiri.
A)
Dorongan manusia untuk
memiliki harta
Islam memandang manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan
dan insting-insting sosial yang merupakan fitrah. Diantara insting itu adalah
insting menyukai harta benda yang mendorong manusia melakukan usaha, membangun
dan merasa ingin abadi. Pengakuan adanya insting ini banyak sekali diungkapkan
dalam Al-Qur’an antara lain adalah firman Allah SWT yang artinya :
19. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (harta
halal dan yang batil ) ,20. Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan
yang berlebihan (Al-Fajar:19-20).
Disini sik[ap islam terhadap hak milik adalah sebagai berikut:
Sikap mengakui keberadaannya dan sikap menghormatinya.
(1)
Islam mengakui dan menghormati
hak milik dan mengatur tentang hak milik tersebut.
(2)
Pengakuan dan penghormatan
islam terhadap hak milik tidak seperti mazhab kapitalis yang membebaskan
kendalinya begitu saja dan membiarkan bebas mereka tanpa ikatan.
(3)
Penghormatan islam terhadap hak
milik tampak jelas dalam penghormatannya terhadap harta benda yang merupakan
tuntutan hak milik itu.
(4)
Penghormatan secara hak milik
itu tampak sebagai berikut:
(a)
Syari’at menganggap harta
termasuk lima
tujuan yang wajib dijaga dan dipelihara. Lima
tujuan ini adalaha: agama,jiwa,akal,kehormatan dan harta.
(b)
Syari’at melarang orang
melanggar ketentuan atas harta ini dengan bentuk apapun dari bentuk
pelanggaran.
B)
Keterikatan Hak Milik
Individu
Islam mengikat kemerdekaan seseorang dalam menggunakan hak milik
khususnya dengan ikatan-ikatan yang menjamin tidak adanya bahaya terhadap orang
lain atau mengganggu kemaslahatan umum. Hak milik menurut islam menyangkut
semua yang dimiliki manusia,meskipun hak milik itu diadakan untuk memperoleh satu kemaslahatan (kepeningan),tetapi ia masih terikat sehingga
tidak menimbulkan bahaya. Menimbulkan bahaya adalah penganiayaan, sedangkan
penganiayaan itu dilarang oleh nash Al-Qur’anul karim.
Agar ada kecocokan antara kemaslahatan untuk mensyari’atkan hak itu dan
bahaya yang kadang-kadang timbul dalam menggunakan hak tersebut, maka perlu
adanya keseimbangan antara kepentingan orang yang mempunyai hak dari segi
ukuran kepentingan tersebut, pengaruh-pengaruh dan manfaat bagi dirinya,dengan
bahaya yang timbul terhadap orang lain. Kalau kepentingan yang memiliki hak itu
yang lebih kuat maka tidak ada halangan bagi haknya. Namun,yang lebih kuat
adalah bahaya terhadap orang lain,makan haknya dibatasi dengan ikatan yang
menjamin tercegahnya marabahaya. Bahkan islam memperbolehkan pencabutan hak
milik dari pemiliknya manakala ia tidak bisa menggunakan hak miliknya secara
baik,sementara tidak menemukan jalan lain untuk mencegahnya.
Sejarah islam telah banyak merekam cara-cara penyesuaian ini,antara
lain:
Diceritakan dalam kitab Imam Malik AL-Muwattha,bahwa seorang laki-laki
bernama Abu-Dhahak bermaksud hendaknya
mengalirkan air dari tengah sungai melalui tanah milik Muhammad Bin Muslima
tetapi Muhammad menolak, maka ia mengadu pada Khalifah Umar r.a. dan khalifah
Umar memerintahkan Muhammad untuk melapangkan jalan,tetapi Muhammad menolaknya
dan berkata” tidak : Demi Allah”. Berkatalah Umar,” kenapa kau tolak saudaramu
manfaatkannya, padahal saudaramu itu bermanfaat pula bagimu kalau ia
mengalirkan air pada awal dan akhir,sedang ia tidak membahayakan-Mu”. Kata
Muhammad pula.”Tidak”. Maka umar berkata,” Demi Allah,lewatkan,meskipun diatas
perutmu”. Maka disuruhnya Ad-Dhahak melewatkan aliran air itu.
Cara-cara penyesuaian lainnya adalah hal yang ditentukan oleh syari’at
islam,seperti kewajiban menahan harta atas orang yang idiot atau gila karena
kedua-duanya tidak bisa menggunakan hartanya dengan baik, dan dikawatirkan akan
menghamburkan kekayaannya,sehingga menimbulkan bahaya terhadap ahli warisnya
dan terhadap kemaslahatan umum. Jelas
dapat diketahui bahwa hak milik bukanlah mutlak,tetapi terbatas dengan
ikatan-ikatan untuk menghilangkan marabahaya terhadap orang lain atau terhadap
kemaslahatan umum.
Kepemilikan pribadi munurut pandangan fiqih islam berbeda dengan sistem
ala kapitalis maupun sosialis. Dan pembeda itu,tak lain adalah karakteristik
peduli sosial dalam sistem kepimilikan islam. Namun dalam islam,target peduli
sosial,tidak sampai mengingkari hak penuh bagi pemilik. Yang ada dalam
islam,hanyalah memberikan aturan-aturan pada pemilik agar dalam investasi tidak
menyengsarakan rakyat.
Dengan rumusan ini,berarti pandangan islam jauh berbeda dengan sistem
sosiallis yang mengingkari kepemilikan individu secara total,sistem sosialis
jelas mengancam pertumbuhan produksi. Dampak yang segera tampak dari sistem ini
adalah membunuh daya kreatif masyarakat dan mematikan kiat kreasi individu.
Akhirnya sistem ini mengancam peradapan manusia ,selain tentu mengancam
perekonomian.
Target peduli sosial,dan sistem perekonomian islam,dapat
dilihat,bagaimana Al-Qur’an membatasi
dan memberikan rambu-rambu pada individu pemilik berkaitan dengan social
lingkungan,kaitannya dengan harta miliknya. Al-Qur’an juga mencermati harta
serta sistem oprasionalnya di masyarakat. Dengan banyak Al-Qur’an menegaskan
kekhalifaan manusia,plus tanggung jawabnya. Dan Al-Qur’an juga mengingatkan
kekhalifaan manusia,kaitannya dengan harta milik.
Islam mengakui dan mengabsahkan kepemilikan pribadi; menghalalkan manusia
untuk menabung,menyarankan manusia berkreasi dan mengembangkan bakat dan
berkerja,tapi islam memberlakukan pula berbagai aturan dan tekanan peduli
social pada individu,pemilik jangan sampai dalam investasi tidak memperhatikan
dampak positif-negatif terhadap pihak lain. Sebab dengan peduli
social,terciptalah masyarakat ideal dan sejahtera.
Contoh paling jelas dari peduli social dalam islam adalah berbagai
produk hukum islam yang telah dengan detail menjelaskan tentang
kepemilikan;mulai proses awalnya,tata cara investasi dan kewajiban yang harus
ditaati. Lihat tiga pilar ketentuan dalam islam berikut:
Pertama: pengendalian terhadap perilaku pemilik
Pengendalian perilaku pemilik ini berawal dari hadits Nabi SAW “ tidak
dibenarkan membuat sengsara pada diri sendiri atau pada pihak lain”.hadits ini
sebagai dasar syari’ah yang harus dilaksanakan. Dan hadits ini sebagai penegas
keharaman akan segala perilaku yang merugikan pihak lain. Artinya,sekalipun
pemilik sendiri,dalam mengoprasikan hartanya,tetap harus menjaga kaidah moral:
tidak merugikan diri sendiri maupun pihak lain.
Kedua: kewajiban sumbangan social yang dibebankan pemilik
Ini sumbangan yang diwajibkan terhadap pemilik. pemilik harus
membayarkan zakat tiap tahunnya,dan kemudian diserahkan kepada yang berhak.
Mereka adalah yang disebut dalam ayat “ sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah
untuk orang-orang fakir,miskin,pengurus-pengurus zakat,para muallaf (orang yang
baru masuk islam ), untuk memerdekakan hamba,orang-orang yang dalam perjalanan”
(at-taubat:60 ).
Zakat bukanlah satu-satunya sumbangan social yang wajib dalam tatanan
islam. Disana masih ada pembayaran asuransi sosial dan dana penunjang program
yang senada dengan zakat. Yang terakhir ini,bentuk dan formatnya tidak baku . Formatnya
disesuaikan dengan kondisi social dan perubahan sosio kemasyarakatan. Dan
kewajiban terakhir ini dengan asumsi dasar : jika dana dari zakat tidak
mencukupi.
Ketiga: Mencabut hak milik
pribadi saat darurat
Hukum dasar dalam kepemilikan adalah tidak sah diganggu gugat oleh pihak
manapun. Sebab itu,tidak dibenarkan
tindakan apapun yang takterpuji untuk intervensi terhadap pemilik dan
tak terkecuali pemerintah.
Pemerintah tidak dibenarkan sama sekali melakukan penghinaan atau
apalagi penyiksaan terhadap warganya berkenaan dengan harta miliknya,sebab
kepemilikan individu adalah hak yang sah diakui oleh agama,oleh karena
itu,siapapun melakukan tindak kejahatan terhadap harta orang lain,maka dikenai
sanksi sesuai tindak kejahatan yang dilakukan.
Sanksi hukum ini merupakan bentuk
perlindungan terhadap hak milik individu,tanpa penafian sedikit pun
terhadap prinsip peduli social masyarakat.
Ada hadits yang diriwayatkan Jabir: Nabi saw. Bersabda” pihak yang
bertetangga lebih mempunyai hak syuf’ah. Kalau sedang alpa,maka ditunggulah.
Yang demikian,jika area obyek satu jalur”.
Syuf’ah inilah,yang lalu sebagai dalil sahnya pemerintah mengambil hak
individu,jika dengan itu benar-benar terelialisasi kemaslahatan umum dengan
pengandaian berbalik jika tidak,yang terjadi justru bahaya yang bakal menimpa
masyarakat.
Contoh yang bisa ditarik,misalnya perluasan masjid,pembangunan jalan
penting,dan rumah sakit. Khalifah umar pernah mengambil secara paksa
kepemilikan tanah diseputar masjid haram,saat itu khalifah umar berkata “
kalian ini menempati area milik ka’bah. Ini kan pelataran ka’bah. Bukan sebaliknya,
ka’bah menempati area bumi kalian”.
Dalam literature fikih islam,masih banyak kasus dimana disahkan
pengambil alihan hak tanpa perlu persetujuan dari yang berhak. Misalnya
penjualan paksa terhadap pelaku penimbunan. Sebab penjualan paksa ini penting
demi antisipasi bahaya yang lahir karena penimbunan.
Si pemilik boleh dan bebas tasarruf atau mempergunakan hartanya itu atau
berbuat terhadap bendanya itu dengan sesuka hatinya,karena ini tersimpul dalam
arti milik,jika dibatasi berarti bertentangan dengan milik dan bertentangan
dengan kebebasan yang telah diberikan kepadanya.
Seseorang bebas menjual,mewariskan,menghadiahkan benda,memperjual
belikan,menyewakan dan lain-lain miliknya selama tidak bertentangan dengan
syara’.
Hak milik dibatasi dengan
waktunya dengan umur pemilikannya. Pemilik tidak memiliki otoritas terhadap
hartanya setelah dia meninggal,karena itu hukum waris dalam al-qur’an
memberikan rincian mengenai pembagian harta peninggalan itu dan menganggap
kematian sebagai akhir alami dari hak-hak seseorang atas hartanya . pembatasan
ini sepenuhnya sesuai dengan konsepsi islam mengenai hak milik ,yang lebih
tepat disebut sebagai khilafah yang terbatas, bukan tuntutan hak yang bersifat mutlak.(ekonomi
islam)
Menimbang kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia,
maka Allah memberi kekuasaan manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi,
tapi dengan catatan : manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya di
beri, sebab itu harus tunduk kepada yang memberi. Ketundukan ini harus
mewujud mulai saat manusia melakukan proses kepemilikan, hingga dalam
menggunakan hak miliknya. Semuanya harus sesuai syari’ah yang berkedukan
sebagai ekspresi kehendak Allah.
Maka dari itu, Islam
mengesahkan kepemilikan yang bermula dari proses yang
sah. Begitu juga sebaliknya, Islam sangat mengecam praktek investasi yang
melanggar aturan, terutama jika dengan akibat merugikan masyarakat. jika
perugian terhadap masyarakat ini terjadi, maka si pemilik berarti tidak
menghiraukan masyarakat, yang sebenarnya dalam pandangan Islam mempunyai hak
pada kepemilikan individu . prinsipnya, Islam tidak mengakui segala kepemilikan
yang lahir dari cara yang menyimpang.
Islam menolak paham
bahwa kepemilikan adalah milik kolektif. Alasan Islam, bahwa yang demikian sama
saja merobek hak individu pemilik dari apa yang dimilikinya, sekaligus memberi
ruang luas pada masuknya intervensi pemerintah yang hingga mengesahkan
pembredelan hak milik. Paham ini, jelas memposisikan pemerintah di antara
pengatur harta yang karenanya sah membredel dan selanjutnya memberikan pada
siapa saja yang dimaui pemerintah atas dalih undang-undang.
Islam tidak menghendaki
terjadinya kepincangan antara hak individu pemilik dengan hak masyarakat lain.
keberhakan pemilik , dalam pandangan Islam, adalah baku , hanya pemerintah mempunyai hak
intervensi atas nama undang-undang ini pun sangat terbatas pada kasus-kasus
tertentu yang kaitanya adalah target sosial kemasyarakatan yang hendak
diwujudkan.
Posisi Islam yang
demikian dimaksudkan untuk membuat perimbangan antara hak milik dan hak
intervensi yang di takutkan berlebihan dengan dalih : demi kesejahteraan umum.
Banyak definisi
kepemilikan yang di utarakan ulama masa lalu maupun ulama sekarang. Mereka
sepakat, bahwa kepemilikan adalah hak khusus pada seseorang pada suatu benda,
misalnya, dan tercegahnya pihak lain ikut memanfaatkannya. Dan pemilik disahkan
menggunakan hak miliknya sejauh tidak melanggar ketentuan syari’ah. contoh
pelanggaran, misalnya, lepemilikan yang di dalamnya terselip hak orang lain
yang diabaikan dan gangguan intern, misalnya si pemilik mengalami gangguan
jiwa. Gangguan ini, juga menghalangi keasahan pemilik melakukan Tasarruf
(pengoperasian harta) dalam pandangan syari’ah.
Faktor kepemilikan dalam Islam
Islam mengakui hak
milik. Tapi bersamaan dengan itu , Islam mensyaratkan banyak hal, tujuaanya
agar dampak negatif kepemilikan individu dapat dihindarkan dari masyarakat, dan
tidak mengganggu sosial kemasyarakatan.
Kepemilikan yang syah
menurut Islam adalah kpemilikan yang terlahir dari proses yang disyahkan Islam,
berikut ini di antaranya dalam pandangan fikih Islam:
1. Menjaga hak umum.
Menjaga hak umum adalah di antara faktor yang melahirkan kepemilikan.
Syaratnya, hak umum ini tidak ada yang memiliki dan si penjaga tidak mempunyai
cacat hukum dalam pandangan fikih, hak milik umum misalnya air sungai,
rerumputan di padang
bebas, tak bertuan. Proses kepemilikan, misalnya, siapa saja yang mengangkangi
satu petak rumput , misalnya , maka ia lebih berhak akan sepetak rumput itu.
2.
Transaksi pemindahan hak
Yang dimaksud adalah kesepakatan antar pelaku yang sah untuk memindahkan
hak kepemilikan, baik prosesnya dengan imbalan atau tanpa imbalan, misalnya
jual beli dan pemberian. Transaksi adalah proses pemindahan hak milik yang
paling sering terjadi.
3. Penggantian.
Yang dimaksud di sini adalah penggantian posisi dari satu pihak ke pihak
lain, di mana dalam prosesnya tanpa perlu ada persetujuan , baik dari pihak
pertama maupun pihak kedua. Misalnya harta warisan . otomatis berpindah ke
pewaris tanpa terlebih dahulu bersyarat terdapar persetujuan. Sebab peralihan
hak di sini mendapatkan legalitasnya lewat ketentuan syari’ah, bukan karena
kehendak manusia.
Syatrat sahnya pemindahan hak ini ialah : tidak terdapat beban hutang
mayit yang menghabiskan nilai harta warisan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pembahasan mengenai
hak milik individu dalam ekonomi islam ada dua hal yang diuraikan yaitu terkait dorongan manusia untuk memiliki
harta dan keterikatan harta individu itu
sendiri.
A) Dorongan
manusia untuk memiliki harta
Islam memandang manusia
adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan dan insting-insting sosial yang
merupakan fitrah. Diantara insting itu adalah insting menyukai harta benda yang
mendorong manusia melakukan usaha, membangun dan merasa ingin abadi. Pengakuan
adanya insting ini banyak sekali diungkapkan dalam Al-Qur’an antara lain adalah
firman Allah SWT yang artinya :
19. Dan kamu memakan harta
pusaka dengan cara mencampur baurkan (harta halal dan yang batil ) ,20. Dan
kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (Al-Fajar:19-20).
B) Keterikatan Hak Milik Individu
Islam mengikat kemerdekaan
seseorang dalam menggunakan hak milik khususnya dengan ikatan-ikatan yang
menjamin tidak adanya bahaya terhadap orang lain atau mengganggu kemaslahatan
umum. Hak milik menurut islam menyangkut semua yang dimiliki manusia,meskipun
hak milik itu diadakan untuk memperoeh
satu kemaslahatan (kepeningan),tetapi ia masih terikat sehingga tidak
menimbulkan bahaya. Menimbulkan bahaya adalah penganiayaan, sedangkan
penganiayaan itu dilarang oleh nash Al-Qur’anul karim. Kepemilikan pribadi
munurut pandangan fiqih islam berbeda dengan sistem ala kapitalis maupun
sosialis. Dan pembeda itu,tak lain adalah karakteristik peduli sosial dalam
sistem kepimilikan islam. Namun dalam islam,target peduli sosial,tidak sampai
mengingkari hak penuh bagi pemilik. Yang ada dalam islam,hanyalah memberikan
aturan-aturan pada pemilik agar dalam investasi tidak menyengsarakan rakyat.
Dengan rumusan ini,berarti
pandangan islam jauh berbeda dengan sistem sosiallis yang mengingkari
kepemilikan individu secara total,sistem sosialis jelas mengancam pertumbuhan
produksi. Dampak yang segera tampak dari sistem ini adalah membunuh daya
kreatif masyarakat dan mematikan kiat kreasi individu. Akhirnya sistem ini
mengancam peradapan manusia ,selain tentu mengancam perekonomian. Islam mengakui dan mengabsahkan kepemilikan
pribadi; menghalalkan manusia untuk menabung,menyarankan manusia berkreasi dan
mengembangkan bakat dan berkerja,tapi islam memberlakukan pula berbagai aturan
dan tekanan peduli social pada individu,pemilik jangan sampai dalam investasi
tidak memperhatikan dampak positif-negatif terhadap pihak lain. Sebab dengan
peduli social,terciptalah masyarakat ideal dan sejahtera. Si pemilik boleh dan
bebas tasarruf atau mempergunakan hartanya itu atau berbuat terhadap bendanya
itu dengan sesuka hatinya,karena ini tersimpul dalam arti milik. Seseorang
bebas menjual,mewariskan,menghadiahkan benda,memperjual belikan,menyewakan dan
lain-lain miliknya selama tidak bertentangan dengan syara’.
DAFTAR PUSTAKA
-
An-nabahar, faruq.sistem ekonomi
islam. Yogyakarta: UUI Press,1986.
-
Nawawi, ismail. Ekonomi islam
perspektif teori, sistem, dan aspek hukum. Surabaya: cv. Putra media nusantara,
2002.
-
Abdullah zaky al kaaf,Ekonomi dalam
perspektif islam
(bandung: cv. Pustaka setia, 2002),
-
muhammad, saddam. Ekonomi islam.
Jakarta: taramedia, 2003
-
Agus,
Bustanuddin, Islam dan Ekonomi. Yogyakarta: Andalas University Press,
Juli 2006.
-
Kahf,
Monzer, Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, September 1995.
-
M.
Al-Assal, Ahmad, Sistem,Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1999
-
Sudarsono, Heri, Konsep
Ekonomi Islam. Yogyakarta: Ekonisia, 2004
-
Lubis,
Ibrahim, Ekonomi Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1999
-
Alwi,
Syafaruddin, Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1992.
-
Prof.Dr.H.Ismail Nawawi,MPA,M.Si,
ekonomi islam prespektif teori,sistim,aspek hukum (Surabaya CV.Putra Media
Nusantara, Agustus 2008)
-
Prof. A. Qodri Azizi, Ph.D, membangun
Fondasi Ekonomi Umat. (Pustaka Pelajar Jogjakarta, 2004)
-
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan
Ekonomi Dalam Islam, (Bumi Aksara, Jakarta, 1979)
-
Kamal,
Mustafa. Wacana Islam dan Ekonomi; Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 1997.
-
Karim,
Muhammad Rusli. Berbagai Aspek Ekonomi Islam; Yogyakarta, PT. Tiara
Wacana Yogya, 1992.